Welcome
PUTRA BEKASI
Penyebaran Islam pun semakin marak setelahnya. Apalagi setelah sejumlah masyarakat yang pulang menimba ilmu di Mekah atau di pondok pesantren. Inilah yang disebut era keempat. Misalnya saja ada Raden H. Sulaeman yang mendirikan Muhammadiyah di Kranji pada tahun 1928. Setahun kemudian hadir dua lembaga pendidikan yang masih dibawah naungan Muhammadiyah yaitu HIS Metden Qur’an dan Schakel Scool.[8] Lalu ada KH. Muhammad Fudholi asal Sukabumi pada tahun 1932 yang mendirikan Madrasah Jannatul Amal di depan Stasiun Cikarang. Lalu berkembang dengan pendirian cabang di beberapa tempat.[9]
Ada juga KH. Noer Ali (1914-1992) selepas menimba ilmu selama enam tahun di Mekah langsung membuat kelompok pengajian pada 1940 di kampung halamannya Ujung Malang (sekarang Ujung Harapan). Melalui jaringan Yayasan At Taqwa, syiar Islam semakin menyebar di daerah utara Bekasi. Seperti daerah Kaliabang, Babelan, Tarumajaya, Sukawangi, Tambun Utara, dan daerah lainnya. Yayasan At Taqwa sendiri hingga saat ini mengelola sekitar 149 lembaga pendidikan yang diantaranya mencakup 36 TK, 62 MIA, 1 SDIT, 23 MTs, 13 SMP, 7 MA, 3 SMU, 1 STM, 1 SMK, Pesantren Tinggi At Taqwa (PTA) dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).[10]
[13]http://www.muslimedianews.com/2014/06/kh-r-mamun-nawawi-ahli-falak-bekasi.html
Bekasi
saat itu merupakan daerah yang pelabuhannya merupakan pelabuhan internasional. Hal
tersebut tentu saja membuat interaksi dengan masyarakat luar tidak bisa
dielakkan. Termasuk datangnya pedagang dari Timur Tengah jauh sebelum Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. hadir ditengah-tengah masyarakat.
Saat
Agama Islam telah menyebar luas di Timur Tengah, membuat para pedagang yang
beragama Islam tersebut pun turut menyebarkannya ke kawasan Asia Tenggara. Dari hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia”
pada 17-20 Maret 1963 di Medan yang banyak dihadiri oleh Sejarawan, ulama,
antropolog, maupun budayawan. Diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 masehi)
yang dibawa dari Tanah Arab. Agama Islam kemudian disebarkan oleh para pedagang
dan juga ulama yang saat itu memang telah sering berinteraksi dalam perdagangan
di Pulau Jawa. Dimulai dari orang Islam yang telah hadir di nusantara sekitar
tahun 638. Meskipun telah hadir, tetapi masyarakat lokal belum memeluk agama Islam.
Mereka masih memeluk agama Hindu, Budha, atau kepercayaan lainnya. Lalu
orang-orang dari tanah Arab dan sekitarnya membuat pemukiman di sekitar pantai
utara pulau Jawa.[1] Kemungkinan besar yang dimaksud
adalah daerah pelabuhan Bekasi dan Kalapa yang dikuasai oleh Tarumanagara saat
itu. Pada tahun tersebut, diperkirakan sejaman dengan masa khalifah yang kedua,
Umar bin Khattab (634 - 644 M).
Keberadaan Islam sendiri semakin kuat
secara politik saat Raja Sriwijaya Sri
Indrawarman
yang juga menguasai Bekasi mengirimkan surat ke Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720) untuk menerangkan Islam ke kerajaannya. Surat didokumentasikan oleh Abd Rabbih dalam karyanya Al-Iqdul
Farid.
"Dari raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan
ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun
binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua
sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis,
yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.
Kepada Raja Islam yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain
selain Allah.
Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa
sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk
menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya."
Tatkala
mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya
tersentuh hidayah. Raja Sri Indrawarman, akhirnya mengucap dua kalimat syahadat
dan menjadi seorang Raja Islam.
Lambat laun, masyarakat Melayu pun turut
masuk Islam. Termasuk masyarakat Melayu yang berada di Bekasi dan Kalapa.
Inilah tahapan awal Islam masuk di
Bekasi.
Dari abad ke-7 hingga abad ke-14,
praktis Islam tidak berkembang di nusantara. Selama sekitar 700 tahun
orang-orang Islam dari tanah Timur Tengah, India, maupun Cina yang melakukan
dakwah di seluruh nusantara tidak menghasilkan hasil yang signifikan. Bisa jadi
karena strategi dakwah yang kurang tepat.
Hingga
kemudian datanglah masa para
ulama yang dinamakan dengan Wali Songo pada awal abad ke-15 melakukan
dakwahnya. Dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan
pedahulunya.
Melalui strategi “menarik simpatik”, membuat hanya dalam waktu 100 tahun
saja,
hampir semua daerah Jawa telah menjadi muslim rakyatnya. Proses
perkawinan
antara budaya setempat dengan nilai-nilai Islam ternyata membuat rakyat
maupun
penguasa beralih dari agama terdahulunya. Selain itu juga dakwah
tersebut dilindungi oleh kekuatan politik yaitu dari Kesultanan Demak
dan berlanjut oleh kesultanan lain seperti Cirebon dan Banten.
Untuk daerah pesisir utara derah barat
Pulau Jawa, khususnya dari Jakarta hingga Karawang, terdapat tokoh penyebar
agama Islam yang cukup diperhitungkan. Dialah Syekh Hasanuddin, anak dari ulama besar
Mekah, Syekh Yusuf Siddik yang menyebarkan Agama Islam di negeri Campa
(sekarang Kamboja), yang datang sekitar tahun 1416-1419 di daerah
Tanjung Pura Karawang. Bersama murid-muridnya, dia menyebarkan Agama Islam ke seluruh
wilayah Kerajaan Sunda, termasuk Bekasi dan sekitarnya.
Dia datang bersama rombongan Laksamana
Cheng Ho (seorang petinggi muslim dari Cina) dari Dinasti Ming yang sedang
melakukan ekspedisi kelimanya menuju Kerajaan Majapahit, yang saat itu dipimpin
oleh Raja Wikramawardhana (1389-1427), dengan 63 buah kapal,
27.800 prajurit, dan kru kapal.
![]() |
Makam yang diyakini sebagai makam Syekh Quro di Karawang. |
Saat transit di daerah Karawang, tepatnya
di Tanjung Pura, Syekh Hasanuddin meminta izin kepada Laksamana Cheng Ho untuk
tetap tinggal dan tidak melanjutkan perjalanan. Sedangkan rombongan Cheng Ho
tetap melanjutkan perjalan. Pelayaran itu sendiri berlangsung sejak 1416-1419 dengan
menyinggahi ke berbagai negara.[2]
Syekh Hasanuddin, karena kemampuannya
menguasai ilmu Al Quran, hafiz Quran, memiliki suara yang merdu dalam membaca
Al Quran, dan berdakwah dengan pengajian Al Quran, kemudian dikenal dengan
sebutan Syekh Quro. Bagi masyarakat Cirebon, Indramayu, Banten, dan termasuk
Karawang, nama Syekh Quro begitu harum dan melegenda.
Setelah beberapa lama kemudian, Syekh Quro
menikahi Ratna Sondari, putri penguasa daerah Tanjungpura, Ki Gendeng Karawang.
Atas izin dari mertuanya, Syekh Quro mendirikan pesantren bernama Pondok Quro
di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian
menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, yang kemudian menjadi istri kedua dari
Prabu Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) saat sebelum menjadi Raja Pajajaran
(1482-1521).[3]
Melalui Syekh Quro dan murid-muridnya
Islam menyebar ke tanah Sunda. Penyebaran tersebut semakin luas saat Raden
Sengara (lebih dikenal dengan sebutan Kian Santang), putra dari Nyi Mas Subang
Larang dan Prabu Siliwangi, ikut melakukan penyebaran agama Islam ke wilayah
pesisir utara, yaitu Sunda Kelapa dan Bekasi. Inilah
yang menjadi tonggak kedua Islam
masuk ke Bekasi. Penyebaran Islam pun semakin intensif
saat Bekasi masuk ke wilayah Kerajaan Sumedanglarang.
Pada masa ini
pula Syeikh Siti Jenar membangun sebuah dukuh sebagai pusat pembelajaran dan
penyebaran Islam. Di dalamnya terdapat masjid dan penginapan bagi para santrinya. Dukuh tersebut dia
namakan Dukuh Lemahabang. Pembangunan Dukuh Lemahabang di Bekasi bersamaan
dengan pembangunan Dukuh Lemahabang di Karawang yaitu pada sekitar Februari
1492. Pembangunan kedua dukuh tersebut dilakukan setelah Syeikh Siti Jenar
sukses membangun di Cirebon untuk yang pertama kali. Total terdapat sekitar 8
Dukuh Lemahabang yang dibangun oleh Syeikh Siti Jenar di Pulau Jawa guna
menunjang syiar Islam di tanah Jawa.[4]
Periode ketiga penyebaran Islam di tanah Bekasi berlanjut melalui
keluarga besar Kesultanan Banten. Dalam hal ini dibagi menjadi tiga periode, yaitu ketiga a dimulai sejak Fatahillah menguasai
Sunda Kelapa di tahun 1527. Meskipun saat itu masyarakatnya sudah banyak yang masuk
Islam. Hal ini dipertegas oleh pendapat Sejarawan Ridwan Saidi. Menurutnya,
penguasa pelabuhan Sunda Kelapa saat itu, Wak Item, sudah masuk Islam. Tidak hanya dia, penduduk asli juga sudah
banyak yang masuk Islam.[5] Kemungkinan besar keislaman mereka berasal dari keturunan
masyarakat Sriwijaya yang pernah bermukim di Jakarta dan sekitarnya.
Meskipun
begitu, melalui era Fatahillah yang menguasai pelabuhan Sunda Kelapa selama hampir 100 tahun, penyebaran Islam di sekitar Jayakarta semakin gencar. Bahkan,
saat Pelabuhan Kalapa dikuasai VOC pada 30 Mei 1619, Kadipaten Jayakarta tetap
ada, hanya keratonnya tidak di Pelabuhan Sunda Kalapa, tetapi pindah lebih ke arah selatan, atau lebih
tepatnya di sekitar Jatinegara Kaum. Dari sana mereka tetap melakukan perlawanan terhadap VOC
dan melakukan penyebaran Agama Islam.
Sedangkan anak Pangeran Jayakarta, Pangeran
Senapati, diperintahkan untuk melarikan diri sekaligus
membangun pertahanan di kawasan pesisir dan pedalaman serta menyebarkan syiar
Islam. Pangeran Senapati bersama pengikutnya
menyusuri ke berbagai
tempat. Mulai dari pantai utara Jawa yang melewati daerah Cabangbungin,
Batujaya, Pebayuran, Rengas Bandung, Lemahabang, Pasir Konci hingga sampai di
sebuah kawasan hutan jati yang kini dikenal sebagai Kecamatan Cibarusah di
Kabupaten Bekasi.
Ditempat itulah kemudian Pangeran Senapati dan
pengikutnya menetap dan menyebarkan Islam di Cibarusah dan sekitarnya.
Peninggalan yang masih dirasakan hingga saat ini adalah Masjid Al Mujahidin di
Kampung Babakan Cibarusah (KBC). Di kampung tersebut, keturunan
Pangeran Senapati dan bangsawan yang pergi bersamanya masih ada dan tetap menggunakan
gelar kebangsawanan hingga kini. Makam Pangeran Senapati berada di Kampung Babakan Cibarusah dan dikenal
dengan sebutan Makam Mbah Uyut Sena.
![]() |
Masjid Al Mujahidin tampak muka |
Pada periode ketiga b, terdapat sejumlah tentara dan
keluarganya dikirim oleh Sultan Abdul Mufakhir dalam rangka menguasai daerah sekitar Citarum.
Mereka diperintahkan untuk membuat pemukiman sebagai dalih perebutan daerah
kekuasaan yang dipimpin oleh Pangeran Pager Agung pada tahun 1624. Meskipun
berhasil dikalahkan Mataram di tahun 1632, namun banyak dari mereka yang tidak
balik ke Banten. Selain itu juga mereka telah cukup lama tinggal, sehingga
dakwah Islam kemungkinan turut mereka lakukan.
Estafet dakwah Islam berlanjut saat Sultan Ageng Tirtayasa (Penguasa Banten 1651-1683) dan anaknya
Pangeran Purbaya ditangkap oleh VOC akibat kalah perang dan ditahan di Batavia.
Ini saya sebut ketiga c. Mereka bersama keluarga dan pengikutnya awalnya ditempatkan di
dalam lingkungan benteng Batavia, namun kemudian keluarga dan pengikutnya
diberi tempat pemukiman di sekitar Jatinegara dan beberapa tempat lainnya
seperti di Cilincing. Sedangkan Sultan Ageng, Pangeran Purbaya, dan Pangeran
Sake tetap di dalam benteng.
Dari sekitar
Jatinegara tersebutlah kemudian para pengikut dan keluarga Sultan Ageng
Tirtayasa menyebar dan mendakwahkan Islam. Diantara keluarga sultan adalah
Syekh Sarifudin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kandong. Dia dan
pengikutnya menyebarkan Islam di daerah Jatiasih dan sekitarnya. Makamnya yang
terletak Desa Jatikramat, Kecamatan Jatiasih, dekat perumahan Duta Indah Kota
Bekasi, hingga hari ini kerap diziarahi.
Ada juga
Pangeran Sageri yang merupakan anak dari Sultan Ageng, dan keturunannya. Diantaranya adalah Raden Sholeh dan Raden Umar yang ikut berdakwah. Sedangkan
Pangeran Purbaya beserta keluarganya sebelum ditangkap menetap di daerah
Cileungsi. Dari situ lalu bersama pengikut dan keluarganya menyebar ke daerah
Cibarusah dan sekitarnya. Sebelumnya, di Cibarusah sendiri Islam telah disebarkan oleh anak dari
Pangeran Jayakarta, Pangeran Senapati.
Sehingga tak pelak daerah selatan Bekasi
banyak yang masih keturunan Banten, baik dari garis keluarga sultan, petinggi
kesultanan, tentara, maupun rakyat biasa. Ciri dari keturunan Kesultanan Banten
adalah masih terdapat nama Raden atau Ratu di depan nama atau dipanggil dengan
sebutan “Aca”.
Ditahun
1890, dipusat kota Bekasi, dibangun sebuah Masjid Agung Al Barkah di sebuah
tanah wakaf Haji Barun, seluas 3000 m2 yang terletak di
jalan Veteran
(Alun-Alun Kota Bekasi).[6] Kemudian pada tahun 1915, Raden Latif dan Raden
Kahfi yang berasal dari Sukaraja Cileungsi Kabupaten Bogor mendirikan Masjid Syiarul Islam, dekat Stasiun Kereta Lemahabang, sebagai tempat
menyebarkan agama Islam di Lemahabang.[7] Juga tidak jauh dari lokasi stasiun kereta, terdapat
bangunan masjid di Tambun yang kini bernama Masjid At Taqwa. Lalu Masjid Al Arief, yang posisinya tidak jauh dari
Stasiun Bekasi. Kedua Masjid itu sendiri tidak diketahui pasti kapan
berdirinya. Tetapi yang pasti dalam peta buatan Belanda di tahun 1915, keduanya
sudah ada.
![]() |
Masjid Masjid Agung Al Barkah sebelum di renovasi besar-besaran pada tahun 2004. |
Penyebaran Islam pun semakin marak setelahnya. Apalagi setelah sejumlah masyarakat yang pulang menimba ilmu di Mekah atau di pondok pesantren. Inilah yang disebut era keempat. Misalnya saja ada Raden H. Sulaeman yang mendirikan Muhammadiyah di Kranji pada tahun 1928. Setahun kemudian hadir dua lembaga pendidikan yang masih dibawah naungan Muhammadiyah yaitu HIS Metden Qur’an dan Schakel Scool.[8] Lalu ada KH. Muhammad Fudholi asal Sukabumi pada tahun 1932 yang mendirikan Madrasah Jannatul Amal di depan Stasiun Cikarang. Lalu berkembang dengan pendirian cabang di beberapa tempat.[9]
Lembaga Pendidikan Jannatul Amal yang tinggal plank nama saja |
Ada juga KH. Noer Ali (1914-1992) selepas menimba ilmu selama enam tahun di Mekah langsung membuat kelompok pengajian pada 1940 di kampung halamannya Ujung Malang (sekarang Ujung Harapan). Melalui jaringan Yayasan At Taqwa, syiar Islam semakin menyebar di daerah utara Bekasi. Seperti daerah Kaliabang, Babelan, Tarumajaya, Sukawangi, Tambun Utara, dan daerah lainnya. Yayasan At Taqwa sendiri hingga saat ini mengelola sekitar 149 lembaga pendidikan yang diantaranya mencakup 36 TK, 62 MIA, 1 SDIT, 23 MTs, 13 SMP, 7 MA, 3 SMU, 1 STM, 1 SMK, Pesantren Tinggi At Taqwa (PTA) dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).[10]
![]() |
Masjid At Taqwa yang merupakan bagian dari komplek Pondok Pesantren At Taqwa pada tahun 1980-an |
Di daerah Kampung Pulomurub Kecamatan
Tambelang terdapat Pondok Pesantren Al Hidayah yang didirikan oleh KH. Nawawi El Marzuki (1919 – 2000) pada tahun 1940.
Cucu-cucunya yaitu H. Ahmad Najiyulloh, LC, KH. Nabhani Idris, LC,
dan KH. Hidayattulloh Nawawi BA. pada
tahun 2002 mendirikan dan mengasuh
Pondok Pesantren (Islamic Boarding School) Umar
bin Khatthab. Letak ponpes tidaklah
berjauhan.[11]
Pengaruh KH. Nawawi El Marzuki
tidak hanya di daerah Tambelang saja, tetapi juga sampai ke daerah Sukatani,
Pebayuran, Sukakarya, Cabangbungin, dan daerah lainnya
KH. Muchtar Tabrani (1901-1971) mendirikan Pondok Pesantren Kaliabang Nangka, kelak berubah
menjadi Pondok Pesantren An Nur, pada tahun 1950. Dia mendirikan pesantren
setelah pulang dari Mekah untuk belajar agama selama 13 tahun. Bersama KH. Alawi, KH, Asmawi,
KH. Anwar, KH. Abdullah, Guru Asmat, dan Guru Jenih lalu mendirikan Pondok Pesantren.[12]
Kemudian ada KH. Raden Ma’mun Nawawi (1915-1975) yang mendirikan Pondok Pesantren Al-Baqiyatussholihat di Cibarusah, tepatnya pada bulan
Rajab 1359 H/1938 selepas pulang
belajar dari beberapa pesantren dan terus berlanjut ke Mekah. Awalnya, dia
belajar dikampungnya di Cibogo, lalu berlanjut ke Pesantren Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di
Plered, Sempur, Purwakarta. Setelah itu ia lanjutkan
studinya ke Mekah dengan berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya
adalah al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al-Maliki dan Mama KH. Mukhtar Athorid
al-Bogori. Setelah pulang,
dilanjutkan lagi belajar di Pesantren KH. Hasyim
Asy’ari di Jombang, Jawa Timur, Pesantren Syekh Ihsan Jampes (Pengarang Kitab Siraj al-Thalibin) di Kediri, hingga pesantren Syekh Mansyur (pengarang Sulamal-Nairen) di Jembatan Lima,
Jakarta. Ada sekitar 63 kitab yang berhasil
ditulisnya. Kitabnya hingga sekarang masih digunakan oleh banyak ulama sebagai
rujukan dan dipelajari oleh para santri diberbagai tempat.[13]
![]() |
KH. Raden Ma’mun Nawawi (1915-1975) |
[1]Ahmad Jelani Halimi. Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.
Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd. Selangor, 2008, hlm. 156-168
[2]http://id.wikipedia.org/wiki/Cheng_Ho
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Baduga_Maharaja
[4]Ending
Hasanudin. Sejarah Lemahabang Kabupaten
Bekasi: Nama Religi dan Histori Kini Pupus dan Terhapus, Kota Perjuangan antara
Karawang – Bekasi. Bekasi, 2015, hlm. 26-28.
[5]https://hurahura.wordpress.com/2010/06/23/kado-buat-jakarta-mengungkap-kebenaran-sejarah-tanggal-lahir-kota-jakarta/
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Al-Barkah_Bekasi
[7]Ending
Hasanudin. Op. Cit., hal. 3-4.
[8]http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-4210-detail-sejarah-berdirinya-muhammadiyah-kota-bekasi-bagian-pertama.html
[9]
http://alunskycicau.blogspot.com/2010/11/sejarah-singkat-kh-muhammad-fudholi.html
[10]http://gepista915.blogspot.com/
[11]http://ponpesumarbinkhatab.blogspot.com/2014_07_01_archive.html
[12]http://annur51.webs.com/profilpendiri.htm
Bekasi Dihancurkan (Bekasi Dibakar Inggris, Bersambung 4, Habis )
Dan benar saja. Pada Kamis, 13 Desember 1945 dengan kekuatan lebih besar. Puluhan truk berisi
serdadu Inggris dan India, puluhan panser, dan pesawat terbang menyerbu Bekasi.
Mereka berangkat sejak pagi dari Jakarta. Melalui Pulo Gadung, Cakung, Ujung
Menteng, Pondok Ungu, Kranji, dan Kampung Duaratus. Inggris mengatakan,
tindakannya ini sebagai “punitive
expedition” (ekspedisi untuk memberi hukuman).[1]
Kekuatan
penuh yang
diterjunkan ke Bekasi oleh pihak Inggris sepertinya dilakukan setelah
mereka
mendapatkan pelajaran berharga dari pertempuran 29 November 1945 di Rawa
Pasung dan Pondok Ungu. Selain itu juga yang tidak kalah penting
adalah pertempuran yang dahsyat di
Surabaya. Yaitu tentang kegigihan masyarakat dan pejuang yang ada di Surabaya
melakukan perlawanan yang hampir sebulan penuh, dari yang tadinya hanya tiga
hari saja prediksinya. Dan dua jenderal mereka tewas, sesuatu yang bahkan tidak
terjadi saat perang dunia kedua.
Berdasar peristiwa
Surabaya pula, bisa jadi para petinggi militer di Bekasi tidak melakukan
perlawanan yang habis-habisan pula. Karena diperkirakan akan banyak korban yang
jatuh dari sipil maupun militer dalam mempertahankan Bekasi sebagaimana yang
terjadi di Surabaya sebelumnya.
Sehingga saat merangseknya pasukan sekutu ke daerah Bekasi, mereka tidak
mendapatkan perlawanan berarti. TKR dari Resimen Purwakarta yang
saat itu sedang menjaga Bekasi pun mundur.
Menurut koran dari Australia, The West Australian (14 Desember
1945), serangan dilakukan dengan menghujani Bekasi yang berpenduduk sekitar
5000 jiwa dengan roket dari pesawat. Di dampingi oleh sejumlah besar pasukan
dan Tank Sherman. Setelah itu, baru pasukan masuk dan membakar sekitar 1000
unit rumah dan bangunan lainnya. Sedangkan rumah dan bangunan milik orang Cina secara
umum tidak dilakukan pemusnahan. Terhadap serangan brutal tersebut, sekitar 400
orang pejuang berusaha melakukan perlawan. Namun mereka dapat dibubarkan
melalui serangan udara. Hal yang sama juga diberitakan oleh The Canberra Times, The Argus, The
Advertiser, dan The Mercury pada 14
Desember 1945.
Hampir sama, Army News (15 Desember 1945), memberitakan penyerangan dilakukan
dengan didahului oleh rentetan bom yang dijatuhkan pada beberapa titik. Dan ketika bom terakhir dijatuhkan, saat
dilihat dari dataran tinggi beberapa kilometer dari lokasi, Bekasi tampak
seperti sebuah film tentang ledakan bom atom. Tidak hanya rumah dan
bangunan, sejumlah kendaraan juga menjadi sasaran pemboman. Setelah itu
dilanjutkan dengan pembakaran dan hujanan mortir pada sejumlah bangunan atau
rumah oleh pasukan darat.
Sebelumnya, para
tentara sekutu
melakukan penyisiran dari rumah ke rumah. Kemudian mereka disuruh
keluar untuk mengungsi. Meskipun banyak juga penduduk yang telah mengungsi sebelumnya.
Dalam penyisiran, pihak Inggris mendapatkan empat orang
pemuda yang memiliki senjata.
Daerah pertama yang
menjadi sasaran pembakaran adalah Kampung Duaratus. Rumah-rumah sekitar
alun-alun. Dari situ lalu berlanjut ke daerah-daerah lainnya.
Sejumlah media di Australia mengabarkan sekitar 1000 rumah di Bekasi telah
dibakar akibat turut bahu membahu dalam pembunuhan pasukan Inggris. Setelah
sebelumnya, Bekasi dihujani oleh roket-roket dari Tank Sherman. Ada yang mengatakan juga bahwa bangunan di Kota Bekasi tinggal sepertiganya
saja yang tersisa.
Saat itu sedikitnya
dihujani 200 peluru meriam. Infantri dan kavaleri menyerang Bekasi dan kemudian
benar-benar membakar Bekasi menjadi lautan api. Sebelum pulang, mereka menanam
kira-kira 40 buah granat tangan yang telah dicabut cincinnya. Kebanyakan
ditanam di sekitar tangsi polisi, lokasi pembantaian tentara sekutu. Mengetahui
hal tersebut, segera dilakukan pembersihan dan pengaman area. Oleh Hasbih,
seorang anggota polisi, dijinakkan satu-persatu bom yang ditanam. Hanya saja
saat bom terakhir, dia gagal dan hancurlan tubuhnya berkeping-keping.[2]
![]() |
Tampak seorang tentara Inggris sedang menyaksikan rumah yang terbakar. Lokasi diperkirakan di Alun-alun Kota Bekasi saat ini. Sumber: Imperial War Museums (IWM). |
![]() |
Tampak dua orang serdadu yang sedang melihat rumah yang sedang terbakar. Sumber: Repro Majalah Life, 28 Januari 1946 |
Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) Bekasi mencatat, 14 orang luka-luka, 641 keluarga yang berjumlah
3.379 jiwa kehilangan tempat tinggal, tiga unit mobil terbakar, diantaranya
milik kantor berita Antara Jakarta. Sedangkan dalam berita yang
dimuat oleh koran Truth terbitan Sydney, Australia pada 16 Desember 1945,
menyatakan bahwa banyak warga yang tewas dan terluka akibat pembumihangusan
Bekasi oleh pasukan Inggris. Antara sendiri pada 14 dan 17 Desember 1945 melaporkan
setidaknya terdapat 600 bangunan yang dibumihanguskan.
![]() |
Tampak sejumlah rakyat yang sedang mengungsi akibat rumah mereka dibakar tentara Inggris. Sumber: Repro Majalah Life, 28 Januari 1946 |
Salah satu koran yang memberitakan pembakaran di Bekasi. |
Secara psikologis, hingga beberapa bulan
setelah peristiwa tersebut, banyak rakyat Bekasi yang masih labil. Mereka
menjadi masyarakat yang lekas kaget dan takut, terutama terhadap orang yang bersenjata.
Sekitar tanggal 19 Desember 1945, sejumlah
petinggi TKR Resimen V Cikampek (Letkol Moeffreni Moe’min, Mayor Priatna, dan
Mayor Adel Sofyan) mendatangi Bekasi. Kehadiran mereka turut didampingi oleh
Mayor Sambas Admadinata selaku Komandan Batalyon Bekasi. Disamping itu juga
terdapat wartawan dari Harian Merdeka, Rosihan Anwar serta fotografer dari
Ipphos, Alex Mendur, mereka mengelilingi Bekasi. Menyaksikan puing-puing
reruntuhan dari bangunan yang dibakar oleh pasukan Inggris.
![]() |
Sisa-sisa bangunan yang dibakar Inggris. Foto: Ipphos, |
![]() |
Sisa-sisa bangunan yang dibakar Inggris. Foto: commons.wikimedia.org |
![]() |
Sisa-sisa bangunan yang dibakar Inggris. Foto: commons.wikimedia.org |
Ki-Ka: Mayor Adel Sofyan, Mayor Sambas Admadinata (memunggungi), Rosihan Anwar, Mayor Priatna Letkol Moeffreni Moe’min. Foto: Ipphos, Sumber Perpustakaan Republik Indonesia |
Peristiwa ini menjadi berita besar bagi pers Nasional maupun
Internasional. Bahkan menjadi sorotan dunia internasional akibat perbuatan
tentara Sekutu yang begitu brutal terhadap penduduk. Apalagi saat itu bangsa
Eropa baru mengalami kekejaman perang yang dilakukan oleh Nazi Jerman.
Des Alwi yang merupakan wartawan Istana Negara sempat mengabadikan
pembakaran yang dilakukan oleh Sekutu terhadap bangunan-bangunan di Bekasi
melalui kamera filmnya yang tidak sampai 10 menit. Dia saat itu sedang naik
kereta api hendak menuju Jakarta setelah
dari Surabaya yang saat itu menjadi perhatian pers nasional
maupun internasional setelah terbunuhnya Jenderal Malaby di Surabaya pada 10 November 1945.
Dua hari setelah peristiwa pembakaran tersebut, Perdana Menteri
Syahrir berpidato di radio yang memprotes tindakan Sekutu yang membabi buta.
Kemudian secara resmi pada 19 Desember 1945 diumumkan melalui Berita Republik
Indonesia.
Surat Pernyataan Sikap Pemerintah Republik Indonesia terhadap peristiwa pembakaran pemukiman di Bekasi yang terjadi pada 13 Desember 1945. Sumber: Repro buku Koesnodiprodjo 1945 (1950:96). |
Pengumuman Pemerintah tersebut juga dimuat di
koran Kedaulatan Rakyat pada 22 Desember 1945. Selain menampilkan pengumuman,
pemerintah juga menyerukan kepada rakyat Indonesia. Dalam seruannya, pemerintah
meminta kepada rakyat sekuat tenaga agar tidak melakukan usaha-usaha yang bisa
dijadikan alasan bagi pihak sekutu untuk bertindak yang hanya membuat rugi
masyarakat itu sendiri.
Dalam media nasional, surat kabar Kedaulatan Rakjat edisi 17
Desember 1945 memuat berita dengan judul “Tentara Inggris Membom dan Membakar
Roemah2 dan Kampoeng Bekasi.” Pemboman dan pembakaran tersebut terjadi di
Bekasi, Tambun, Cikarang, Rengasbandung, Lemahabang, hingga Klari di Karawang.
Api yang besar dan hampir merata di kampung-kampung dari Bekasi hingga
Karawang, membuat tak kunjung padam hingga malam dan pagi kembali. Dari jarak
yang jauh tampak udara yang hitam kemerah-merahan.
Dalam surat kabar Merdeka
edisi 21 Desember 1945 menulis, “Menganggap seluruh desa bersalah, oleh karena
beberapa orang desa menjalankan kesalahan itu, dan cara mengadakan hukuman itu
menurut pendapat pemerintah melalui batas peri kemanusiaan.”
Surat kabar Merdeka juga
pada 29 Desember 1945 memuat tulisan Rosihan Anwar berjudul “Meninjau Jawa
Tengah dan Jawa Timur.” Dalam tulisan tersebut dia menceritakan kondisi
Bekasi pasca pemboman dan pembakaran yang dilihatnya melalui perjalanan kereta
api.
”Waktu kita melewati Bekasi nampaklah di tepi jalan rumah-rumah
habis terbakar menjadi debu sebagai akibat kekerasan Inggris. Pemandangan amat
menyedihkan, mengingatkan kita bahwa disana ada jejak peperangan. Akan tetapi
justru dekat reruntuhan rumah itu juga kita melihat perempuan turun ke sawah
memasukan benih-benih ke dalam lumpur. Pertentangan ini mengharukan jiwa
musafir, sebab didekat reruntuhan muncul dengan tabahnya usaha menghidupkan.
Itulah bangsa Indonesia penuh vitaliteit, mempunyai banyak kegembiraan dan
tenaga hidup berlimpah-limpah. Akan tetapi di belakang garis pertama kita harus
pula berjuang melakukan usaha-usaha pembangunan di dalam negara. Selain
daripada perjuangan mempertahankan Republik terhadap tenaga-tenaga yang
menyerangnya, haruslah dibangkitkan tenaga-tenaga pembangunan dengan giat.
Inilah hendaknya pedoman kita: di samping menggempur, membangunkan!”
Selain berita tentang pembakaran Bekasi, Darmawidjaya (seorang redaktur
budaya pada suatu koran) menuliskan sebuah puisi tentang peristiwa yang
memilukan. Puisi yang ditulis pada 28 Desember 1945 tersebut dimuat di surat
kabar Merdeka pada 2 Januari 1946.
Kami Membangun
Pembakaran
Bekasi
Simpang-siur berkaparan,
Hitam-hangus rupa runtuhan,
Bau darah campur mesiu
Masih terbau,
Suasana lemas merawan-mesra,
Berganti hati haru-gembira,
Ketika wanita tampak membangun,
Membenam benih di tengah gurun.
Ketika melihat tani gembira
turun ke sawah,
Merecah bencah lumpur subur
berair mewah,
Semangat 'teriak: Tuan
meroboh-meruntuhkan,
Kami mencipta-membangunkan!
Di atas peninggalan tangan
kejammu
Kami bangunkan dunia yang baru!
Jakarta, 28 Desember 1945
Sedangkan media internasional,
seperti John Hall dari surat kabar Daily Mail terbitan New York, mengungkapkan
bahwa Amerika Serikat mencela tindakan-tindakan Inggris di Jawa, terutama balas
dendamnya terhadap Bekasi. Bahkan Hall menyetarakan peristiwa yang tidak
berperikemanusiaan itu dengan pemboman dan pembakaran oleh tentara Nazi Jerman
terhadap kota Lidice, Polandia, pada masa Perang Dunia II. Termasuk juga oleh
koran Truth terbitan Sydney, Australia pada 16 Desember 1945, yang menyatakan
bahwa Bekasi menjadi Lidice-nya Jawa. Pemimpin tertinggi NICA, Dr. Van Mook,
telah berangkat ke Belanda untuk menjelaskan keadaan kepada pemerintah.
Surat kabar Daily Worker
edisi 15 Desember 1945 menulis,
“Ketika mendengar berita
bahwa kaum Nazi membakar rumah-rumah Eropa, alangkah meluapnya rasa benci kita
terhadap mereka. Kita ikut berterima kasih kepada serikat-serikat kita bahwa
kota-kota kita sendiri tidak mengalami nasib demikian.”
Akan tetapi, bagaimanakah
perasaan kita sekarang, ketika mendengar berita dari Jawa? Orang-orang akan
menjawab dengan amarah bahwa tidak ada persamaan sama sekali antara peristiwa
Bekasi dan peristiwa di Eropa.”
Suara protes terhadap Inggris juga disampaikan surat kabar liberal
Inggris, News Chronicle. Dalam surat pembacanya, seorang pelajar Indonesia di
London yang tidak disebutkan namanya menyatakan, ada kalanya kita ingin sekali
tak mengenal bahasa Inggris atau Prancis, sepatah katapun.
Pada 18 Desember 1945, Raja Muda India, Jenderal Wavell,
memberitahukan bahwa di India timbul komentar-komentar yang pedas menanggapi
peristiwa Bekasi. Peristiwa dan nada protes dari dunia internasional tersebut juga
membuat Parlemen Inggris meminta laporan mengenai peristiwa Bekasi kepada
Panglima South-Asia Command, Laksamana Mountbatten.[3]
Pada malam hari setelah melakukan pembumihangusan
Bekasi oleh Inggris, pihak pejuang dari unsur
TKR maupun Laskar melakukan serangan balasan dari jarak dekat oleh pasukan
golok yang membawa granat tangan. Akibatnya, Sekutu mengundurkan diri dari
Bekasi ke Jakarta. Kemudian diikuti pertempuran di jalan-jalan menuju Bekasi.
Dalam pertempuran ini pasukan Haji Darip dari
Klender, banyak ambil bagian dalam mempertahankan Bekasi.[4]
Lukas Kustaryo (25 tahun), dari Kompi I di
bawah komando Resimen VI/Cikampek, langsung merespon perbuatan tentara sekutu
tersebut dengan membawa pasukannya yang dibantu pejuang dari Bekasi untuk
melakukan serangan balik. Markas Sekutu di Cililitan pun menjadi sasaran. Dari
serangan ini membuktikan bahwa Bekasi masih ada dan masih terus berjuang.
Dalam buku Mengenang Sjahrir (2010), Mr. Tan
Po Goan menceritakan bahwa suasana Bekasi pada saat itu seperti kota hantu,
karena tidak ada ada penduduknya. Seluruh penduduk dan angkatan bersenjata
mengosongkan Bekasi. Sehingga suasananya begitu sunyi dan mencekam.[5]
Surat
Kabar Merdeka terbitan 19 Desember 1945
mengabarkan bantuan yang dikirimkan oleh berbagai pihak. Pemerintah
Karesidenan Djakarta, Kabupaten Jatinegara, dan anggota Badan Pekerdja
Kabupaten pada 16 Desember 1945 mengunjungi Bekasi dan Rumah Sakit
Karawang. Dalam kesempatan tersebut, mereka menyerahkan bantuan berupa
uang
sebesar £ 10.000, 60 blok kain hitam dan 750 helai baju kepada kepala Badan Penolong
Korban Kecelakaan Bekasi. Pemerintah Daerah Karawang pun menyumbang 2000 helai
pakaian dan 100 bal beras. Pesindo Cikampek mengirim bantuan berupa bahan
makanan yang terdiri dari 40 bal beras, 5 bal jagung, 1 bal kedelai, 1 bal gula
pasir, dan 100 potong baju perempuan baru. Selain itu, banyak pula berbagai
bentuk bantuan tidak tercatat namun cukup berarti bagi masyarakat daerah
Bekasi.
GEDUNG JUANG 45, PERJUANGAN MASYARAKAT TAMBUN
Kembali tentang gedung Juang Bekasi, Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Bekasi yang letaknya berdampingan dengan Jakarta memiliki sejarah perjuangan melawan penjajah yang tak kalah heroik. Perjuangan rakyat Bekasi sempat diabadikan dalam puisi terkenal karya Chairil Anwar, Karawang-Bekasi.
Yang menarik, Bekasi masih memiliki gedung bersejarah peninggalan pra masa kemerdekaan yang dikenal sebagai Gedung Tinggi yang terletak di jalan Sultan Hasanudin, dekat Pasar Tambun dan Stasiun kereta api Tambun. Gedung Tinggi ini sekarang dikenal sebagai gedung juang 45. Bangunan berarsitektur neoklasik ini dibangun oleh tuan tanah Kow Tjing Kie pada tahun 1910. Gedung tinggi ini merupakan salah satu gedung bersejarah yang turut menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Bekasi saat revolusi fisik. Ketika itu daerah Tambun dan Cibarusah menjadi pusat kekuatan pasukan republik Indonesia (RI). Perlu diketahui bahwa pada saat revolusi kemerdekaan, garis demarkasi yang memisahkan daerah Republik Indonesia dengan daerah kekuasaan Belanda terletak didaerah Sasak Jarang, sekarang menjadi perbatasan antara kecamatan Bekasi Timur dengan Kecamatan Tambun dan merupakan perbatasan Kota Bekasi dengan Kabupaten Bekasi.

Akibat serangan bertubi-tubi, pertahanan pasukan Belanda di Bekasi sering ditinggalkan. Mereka kemudian memusatkan diri ke daerah Klender Jakarta Timur. Sebaliknya, para pejuang Indonesia menjadikan gedung tinggi ini sempat dijadikan sebagai pertahanan di front pertahanan Bekasi- Jakarta.
Dikuasai Tuan Tanah
Setelah pasukan Belanda meninggalkan Bekasi. Gedung Juang yang terdiri dari dua lantai ini, dimiliki dan dikuasai seorang tuan tanah keturunan Cina bernama Kouw Oen Huy. Tuan tanah yang berhasil menguasai ratusan hektare tanah di Kecamatan Tambun, bahkan memiliki perkebunan karet. Ia digelari ‘Kapitaen’.
Ia tidak hanya menguasai tanah di Tambun tapi juga daerah Tekuk Pucung yang jaraknya puluhan kilometer dari Tambun, termasuk di daerah Cakung, juga menjadi milik tuan tanah ini.
Gedung Juang yang kini menjadi perkatoran milik Pemerintah Kabupaten Bekasi, dibangun dua tahap, tahun 1906 dan tahun 1925. Pada awalnya, di bagian halaman muka Gedung Juang ini, dijadikan taman buah yang diantaranya banyak ditanami pohon mangga yang pada saat itu belum pernah dikenal masyarakat Tambun dan Bekasi.
Tuan tanah Kouw Oen Huy, menguasai bangunan tua ini hingga 1942. Selanjutnya, tahun 1943, bangunan bersejarah tersebut berada di bawah pengawasan pemerintahan Jepang hingga tahun 1945. Tentara Jepang, juga menggunakan bangunan tua ini sebagai pusat kekuatannya dalam menjajah Indonesia.
Pada masa perjuangan kemerdekaan 1945, bangunan yang berlokasi di atas tanah sekitar 1000 meter ini, diambil alih oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk dijadikan sebagai Kantor Kabupaten Jatinegara. Pada masa itu, Bekasi dijadikan sebagai daerah front pertahanan, maka gedung tersebut berfungsi juga sebagai Pusat Komando Perjuangan RI dalam menghadapai Tentara Sekutu yang baru selesai perang dunia kedua.
Di gedung yang mempunyai makna monumental ini, perudingan dan pertukaran tawanan perang terjadi. Lokasi pelaksanaan pertukaran tawanan sendiri dilakukan di dekat Kali Bekasi yang kini tidak jauh dari rumah pegadaian Bekasi. Banyak tentara Jepang meninggal dibantai dan dibuang di Kali Bekasi, membuat setiap tahun tentara Jepang selalu melakukan tabur bunga di kali yang membentang kota Bekasi ini.
Dalam pertukaran tawanan, pejuang-pejuang RI oleh Belanda dipulangkan ke Bekasi, dan tawanan Belanda oleh pejuang RI dipulangkan ke Jakarta lewat kereta api yang lintasannya persis berada di belakang Gedung Juang. Gedung yang tidak jauh dari Pasar Tambun Bekasi ini, juga pernah dijadikan sebagai Pusat Komando Perjuangan RI pada masa perjuangan fisik. Gedung ini selalu menjadi sasaran tembak pesawat udara dan meriam Belanda. Banyak keanehan pada gedung ini. Ketika meriam Belanda dijatuhkan di atas bangunan tersebut, ternyata meriam itu tidak meledak dan hanya merusak sebagian kecil bangunan.

Akhir 1947, ketika Belanda menghianati perundingan Linggarjati tanggal 21 Juli, Belanda mengadakan aksi pertama (dikenal sebagai Agresi Militer Belanda Pertama). Mengingat gedung ini merupakan markas basis pertahanan, maka tidak mengherankan bila di sekitar gedung ini sering terjadi pertempuran dan pembantaian yang bertubi-tubi. Bahkan gedung ini pernah di duduki Belanda/NICA hingga tahun 1949. Namun, gedung yang sangat mempunyai nilai sejarah dan merupakan kebanggaan mayarakat Bekasi ini, kembali berhasil direbut oleh pejuang Bekasi pada awal 1950.
Museum Perjuangan Bekasi
Setelah masa perjuangan merebut kemerdekaan, gedung ini mengalami berbagai perkembangan dan perubahan fungsi. Selain bangunan bersejarah, bangunan tersebut sering digunakan sebagai pusat aktivitas.
Di antaranya, tahun 1950 setelah Tambun dikuasai lagi oleh Republik Indonesia, gedung ini diisi dan ditempati pertama sekali oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bekasi.
Juga pernah digunakan sebagai kantor Jawatan Pertanian dan jawatan-jawatan lainnya sampai akhir 1982. Bangunan yang berada di bagian timur Bekasi ini, juga sempat dijadikan sebagai tempat persidangan-persidangan DPRDS, DPRD-P, DPRD TK II Bekasi dan DPRD-GR hingga tahun 1960.
Tahun 1951, di gedung ini sempat diisi oleh pasukan TNI Angkatan Darat Batalyon “Kian Santang”. Batalyon Kian Santang ini sekarang menjadi bagian dari Kodam III Siliwangi. Tahun 1962, kemudian gedung ini dibeli Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Ketika peristiwa Gerakan G 30S/PKI pecah, gedung ini juga sempat dijadikan sebagai penampungan Tahanan Politik (Tapol) PKI.
Mengingat letaknya yang strategis, oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi saat Bupati Bekasi dijabat Abdul Fatah, bangunan ini sempat dijadikan sebagai tempat perkuliahan bagi mahasiswa Akademi Pembangunan Desa (APD) yang merupakan cikal bakal pembangunan perguruan tinggi di Bekasi, dan kini dikenal dengan Universitas Islam 45 (Unisma).
Manfaat lain gedung ini, juga sempat digunakan sebagai Kantor BP-7 dan Kantor Legiun Veteran. Tahun 1999, di gedung menjadi sekretraist Pemilu. Lalu menjadi kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Sekretarit Kantor Pepabri dan Wredatama. Kini gedung yang menghadap timur ini, menjadi kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kantor Tenaga Kerja Pemertintah Kabupaten Bekasi.
Suasana gedung kuno terasa melingkupi seluruh gedung, apalagi gedung ini cukup luas dan terasa senyap jika tidak ada kegiatan yang melibatkan orang ramai. Yang ramai justru suara burung Walet dan kelelawar…
Gedung ini sempat diabadikan dalam film “Lebak Membara”, dimana HIM Damsyik sebagai pejuang tewas setelah jimat kebal pelurunya tersangkut dipagar saat hendak menurunkan bendera musuh dihalaman gedung Tinggi :-).
Jika suatu saat datang ke Bekasi, sempatkan datang ke Gedung Tinggi. Jika menjadi warga Bekasi, sayang sekali jika tidak tahu sejarah perjuangan Rakyat Bekasi yang salah satu monumen dan saksi bisunya adalah Gedung kuno yang bernama Gedung Tinggi Tambun.
Sumber : http://wisatasejarahbekasi.blogspot.com/?m=1
https://tamsel.bekasikab.go.id/berita-gedung-juang-45-saksi-bisu-perjuangan-masyarakat-tambun.html